Oleh: Pdt., Drs. Edi
Suranta Ginting, M. Th., M. Div.
---------------------------------------------
Museum GBKP Buluh Awar |
Tuhan Allah memberikan hukum suci dan sempurna kepada
bangsa Israel di Gunung Sinai. Hukum-hukum yang kemudian dikenal sebagai Hukum
Taurat itu bersifat mengikat bagi setiap umat Tuhan. Salah satu hukum itu ialah ‘Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti
yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik
keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu (Ul. 5: 16)’.
Kata menghormati menunjukkan sikap yang menghargai atau
menjaga wibawa orang yang dihormati. Ayah dan ibu adalah jelas orangtua
kandung. Akan tetapi, dalam konteks pembahasan ini, saya menafsirkan bahwa
orangtua ialah orang yang lebih tua, pemimpin, atau para pendahulu. Tafsiran
ini dimungkinkan dengan berbagai ajaran Alkitab bahwa orang yang lebih muda
harus menghormati orang yang lebih tua atau menghormati para pendahulu.
Salah satu contoh menarik tentang menghormati pemimpin
ialah kasus Harun dan Miryam ketika mereka mengata-ngatai Musa yang mengambil
perempuan bukan dari orang Israel (Bilangan 12). Perbuatan mereka yang termasuk
kategori ‘pembunuhan karakter’ itu bertentangan dengan kehendak Allah dan Allah
menghukum mereka dengan keras.
Jadi, kasus Miryam dan Harun haruslah menjadi contoh bagi
kita bagaimana kita bersikap dan berlaku terhadap para pemimpin atau para
pendahulu yang sudah lebih dahulu merintis jalan bagi kehidupan iman kita.
Satu contoh lagi tentang menghormati para perintis jalan.
Sekali waktu, saya melaporkan hasil studi literatur tentang Fransiskus Asisi. Dua
hal yang saya sampaikan kepada penguji saya tentang Fransiskus ialah
tindakannya memecat kepala biara di Paris karena biara itu mengajarkan filsafat
dan teologi kepada biarawan dan kepergian Fransiskus ke Mesir bersama dengan
rombongan pasukan perang salib. Penguji saya, seorang romo Fransiskan bergelar
profesor, keberatan dengan dua hal tersebut. Kesan saya, beliau kuatir timbul
kesan bahwa Fransiskus anti terhadap filsafat dan teologi serta pendukung
perang salib. Pembimbing saya mengambil jalan tengah dengan menghapuskan dua
bagian itu dari hasil studi literatur saya.
Dari contoh ini saya belajar bahwa kebenaran masih
ditempatkan di dalam kebaikan, yaitu sikap menghormati para perintis jalan.
Walaupun bergelar profesor, pembimbing saya masih lebih dikendalikan oleh sikap
hormatnya kepada pendahulunya.
Pietisme
adalah gerakan kesalehan yang lahir di Jerman pada abad ke-17 dan berkembang
pesat pada abad-abad berikutnya. Pada abad ke-19 Gerakan Pietisme mencapai
puncaknya dengan menjadikan abad itu sebagai abad penginjilan. Gerakan ini berhasil
mengutus para penginjilnya ke pedalaman Afrika dan pedalaman Asia. Tokoh-tokoh
besarnya ialah William Carey yang pergi ke India, Hudson Taylor pergi ke
pedalaman China, David Livingstone pergi ke Afrika. Ke Indonesia, gerakan ini
muncul melalui pribadi-pribadi yang bersemangat memberitakan Injil. Di Surabaya
ada Bapak Emde, di Semarang Nyonya Philip Oostroom, dan di Jawa Barat Mr.
Anthing. Setelah mereka datanglah para misionaris seperti Joseph Kam ke
Ambon, Yohanes Riedel ke
Minahasa, Nommensen ke Batak(Tapanuli), dan H.C. Kruyt ke Karo, dan lain-lain.
Saya bahkan berpendapat bahwa kekristenan di Indonesia
adalah buah pelayanan pribadi-pribadi yang dipengaruhi oleh semangat pietisme
dan diteruskan oleh para misionari pietisme (yang kurang begitu terikat pada
lembaga negara dan gereja dan lebih menekankan aspek individualisme), dan
akhirnya diteruskan oleh lembaga gereja bukan oleh negara dan juga bukan oleh
gereja negara.
Di kemudian hari, orang-orang Kristen hasil pelayanan
misionari pietisme memberikan penilaian kritis terhadap pietisme. Dalam
pengamatan saya, paling tidak ada dua aspek yang mendapat penilaian. Satu,
pandangan teologis pietisme yang dipandang terlalu vertikalistis atau lebih
mengutamakan aspek rohani dan kurang memedulikan aspek sosial kemanusiaan.
Kedua, keterlibatan atau pandangan teologis terhadap kolonialisme. Yang berkaitan dengan
kolonialisme ialah anggapan bahwa sebagian misionari pietisme adalah kaki
tangan kolonialisme atau pelayanan mereka adalah bagian dari kebijakan
pemerintah kolonial.
Apakah patut memberikan penilaian kritis terhadap para
misionari pietisme yang telah berjasa memberitakan Injil keselamatan itu kepada
orang Indonesia? Saya ingin menyampaikan beberapa pendapat saya tentang
penilaian terhadap para perintis Injil ke Indonesia, khususnya kepada suku
Karo.
Satu, setiap tindakan pasti didorong oleh beberapa
motivasi. Kalau saya pergi ke Buluh Awar maka beberapa motivasi saya ialah
untuk melihat tempat istimewa itu, untuk bertemu dengan teman saya di sana,
untuk makan durian, untuk rekreasi, dan lain-lain. Kalau orang yang menghormati
saya memberikan pandangan tentang kunjungan saya ke Buluh Awar maka mereka akan
mengatakan bahwa saya ke Buluh Awar untuk menunjukkan penghormatan terhadap
para misionari perintis jalan. Akan tetapi, saya tidak bisa memaksa orang lain
mengatakan bahwa tujuan saya ke Buluh Awar hanya untuk mancari sensasi dan
popularitas pribadi.
Dua, menilai dengan sikap hormat. Gereja pada rentang
waktu 500—1500 disebut dengan dua istilah. Satu, gereja abad pertengahan dan
kedua, gereja abad kegelapan. Gereja abad pertengahan adalah sebutan dari
gereja sendiri, sedangkan gereja abad kegelapan adalah sebutan dari kaum
humanis yang mengecam dominasi gereja terhadap kehidupan. Menurut saya, sebagai
anak gereja, kita lebih tepat mengikuti sebutan gereja daripada sebutan kaum
humanis antigereja. Dengan menerima sebutan gereja, maka kita sudah menunjukkan
sikap hormat kita kepada para perintis jalan Tuhan. Demikian pula dengan para misionari
yang datang ke Karo. Tidak bisa disangkal bahwa mereka memiliki kekurangan dan
kelebihan. Akan tetapi, kalau kita menghormati mereka, maka yang kita tonjolkan
ialah kelebihan mereka dan kekurangan mereka akan menjadi pelajaran saja untuk
tidak diulang kembali dan bukan untuk ditonjolkan.
Tiga, seandainya mereka orangtua kita. Apakah kita bisa
kritis terhadap orangtua sendiri? Kalaupun ada, jumlahnya hanya sedikit. Budaya
kita mengajarkan supaya kita menghormati orangtua dan tidak menjelek-jelekkan
orangtua di depan umum. Salah satu contoh sederhana. Saya menulis riwayat hidup
seorang ibu. Ibu ini menceritakan kelemahan suaminya yang adalah kelemahan umum
masyarakat Karo. Oleh karena itu, saya pun menuliskan seperti yang dituturkan
sang ibu. ketika draft buku dibaca oleh anak-anaknya, maka semua anak-anak
protes. Yang mereka kuatirkan ialah timbulnya kesan negatif terhadap ayah yang
mereka hormati. Oleh karena itu, bagian itu dihapuskan. Saya kira, begitu
jugalah sikap yang tepat ketika kita menilai para perintis jalan Tuhan, para
misionari yang datang mengorbankan segala-galanya untuk keselamatan orang Karo.
Empat, penilaian kritis bukanlah budaya orang Timur dan
orang Karo melainkan budaya masyarakat Barat. Kita terlatih melihat kelebihan
seseorang apalagi bila orang itu adalah orang terhormat atau memiliki kedudukan
penting di tengah masyarakat. Ayah saya suka menceritakan kebaikan kakek saya,
ayahnya. Saya ingat tentang kerajinan kakek saya. Dari orang lain, saya dengar
juga bahwa kakek saya memiliki kebiasaan buruk, tetapi saya tidak menyimpan hal
itu di dalam pikiran saya. Menurut saya, cara pandang orang Karo sama seperti
ajaran Alkitab. Salah satu contoh. Daud mengatakan bahwa dirinya tidak
diizinkan Allah mendirikan Bait Allah karena tangannya penuh darah. Ketika Salomo
mengatakan hal yang sama, maka pernyataannya berbeda. Salomo mengatakan bahwa
ayahnya tidak mendirikan Bait Allah karena sedang berperang dan banyak
musuh-musuhnya. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap orangtua dalam budaya
Asia atau Ibrani.
Setelah seratus tahun lebih orang Karo menerima Injil dan
Buluh Awar sebagai tempat pertama yang menerima Injil masih sama dengan
tempat-tempat lainnya. Jangan-jangan, pengabaian atau yang lebih tepat lagi
‘pembiasaan’ (membiarkannya biasa) terhadap Buluh Awar karena sikap kritis terhadap para perintis jalan
Tuhan tersebut. Kalau kesan
saya ini benar, maka kita harus mengubah pandangan teologis kita. Sesuai dengan
ajaran Firman Tuhan dan juga sesuai dengan nilai-nilai budaya Karo, kita patut
menghormati para perintis jalan, yaitu para misionari pertama dan sekaligus
juga menghormati tempat pertama Injil diberitakan. Mari kita renungkan kembali
sikap kita. Supaya panjang umur kita dan berhasil hidup kita, maka kita harus
menghormati para perintis jalan, yaitu para misionari pertama dahulu. (esg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syaloom - Mejuah-juah